Archive for April, 2009

h1

Kajian Online FLP Saudi

April 26, 2009

Akhirnya setelah sekian lama ditunggu-tunggu malam ini tercatat dalam sejarah FLP Saudi melakukan koordinasi online pertamanya di ruang serat optik – internet.

Dengan diikuti 4 pengurus yang sekaligus aktifis chater mig33, disepakati beberapa agenda pemenuhan nutrisi anggota dalam beraktivitas di FLP. Diantaranya  dengan memanfaatkan rum FLP Saudi di mig33 sebagai ruang kajian. Kajian tersebut akan dilaksanakan setiap hari jumat, ahad, dan selasa jam 6-7 pagi waktu Saudi.  Pada masing-masing hari tersebut akan dibahas satu topik utama. Tiap hari jumat Alwy akan mengulas materi smart writing motivation, Nadya akan mengulas materi kepenulisan setiap hari Ahad, kemudian setiap hari selasa loel akan mengulas materi ke-flp-an.

Sebuah upaya sederhana yang diharapkan memberi kemanfaantan bagi semua yang merasakannya. Disamping juga sebagai ladang menabung bekal menuju kehidupan abadi. Bekal yang senantiasa tercatat detail dalam catatan tangan utusan (malaikat) yang mulia lagi berbakti (QS. ‘Abasa: 15-16)

h1

Tentang Ayat-Ayat Cinta

April 1, 2009

By : Alwy Aly Imraan

Sebelumnya, bukannya saya latah dengan ikut mengulas tentang film (plus novel) ini, hanya kesempatannya saja yang tepat. Ingin saya mengajak antum melihat film (plus novel) di atas dari sudut pandang yang lain. Sebagaimana langit, akan berbeda jika kita melihatnya ke arah cakrawala yang tak sama, meski kita berdiri masih dalam satu garis di titik memandang yang sama.

Novel ini (ditulis oleh Habiburrohman el shirazy, sarjana Al-Azhar, yang kebetulan juga satu almamater dengan Syaikhuna – walau berbeda angkatan –, sama-sama pernah mengenyam pendidikan di PP.Futuhiyyah, Mranggen) harus kita akui mampu membawa pembacanya pada sebuah kenyataan sebenarnya akan arti cinta dan kehidupan, dan pembelajaran baru tentang rahasia besar kehidupan itu sendiri. Tak berlebihan kiranya jika novel ini dikatakan sebagai novel pembangun jiwa. Siapa sih yang tidak gerimis hatinya usai membaca novel ini? Saya sendiri mungkin 10 kali lebih baca novel ini. Kalau filmnya? Fa haddits wa laa kharoj, terserah antum ingin menilai apa, yang pasti mata saya sampai sakit melihatnya, perasaan berkecamuk yang tidak bisa saya gambarkan dengan kata-kata. Terharu? Pasti.

Ini tentu saja bighoddhin nadhor (dengan tanpa melihat) para pemeran Fahri, Aisha, Maria, Nouroh, juga Nurul (Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Carissa putri, Zaskia Adya Mecca, dan Melanie Putria) meski angan kita tidak bisa terlepas dari sosok mereka. Sebab artis tentu saja punya “hukum” tersendiri, meski mungkin kita terpukau dan terpana pada salah satu di antara mereka (seperti saya yang sempat terpukau dengan “kecantikan” pemeran Aisha). Tidak bisa kita menilai mereka baik begitu saja hanya dengan dia mendapat peran baik, (saat yang sama, sebagai muslim tentu kita harus mendoakan baik bagi mereka).

Sebab, di belahan dunia manapun, dunia seni peran itu sama, gak arab, gak eropa, gak amerika, gak indonesia. Bisa jadi di film pagi artis itu jadi ulama’, di film sorenya jadi bromocorah, belum lagi kehidupan pribadi mereka yang tanpa dibahas kita pun sudah tahu. Jangan kaget kalau para artis arab (bahkan yang non muslim) dengan lancarnya berdalil pakai al-qur’an dan hadits dalam film-film sejarah. Tak ada perbedaan antara Samir Ghanem, Basim Yakhur, Taim Al-Hasan, Nur Syarif, Sulaf Fawakhergi, Suzan Najmeddin, Pascal Machelaani, Nesriin Thofasy, Zainab Askary, Farah Basesu, Saloum Haddad, Taj Haidar, dengan nama-nama yang tersebut di atas. Meski kita juga harus ingat, tidak semua dari mereka jelek (kalau soal dunia entertainment, ada babnya sendiri, bukan di sini).

Kembali ke pokok bahasan, apa yang bisa kita tangkap dari film ini? Belum juga respon bangsa kita yang heboh, sampai kepala negara pun menyempatkan 2 jam (yang bagi beliau, 2 jam adalah berharga) untuk menontonnya. Banyak pelajaran sebenarnya, dan yang pasti dari sisi akhlaqiyah, bahwa menanggapi cinta yang tumbuh di hati tidak harus sefrontal keinginan kita, bagaimana kita mengendalikan cinta yang sedang tumbuh di hati kita sesuai koridor syari’at. Tentu saja film ini memberi iluminasi (penyegaran) terhadap kita (dan masyarakat kita) akan manajemen cinta itu sendiri, tidak seperti film-film lain yang kita tahu sendiri kayak apa pelampiasan cinta, tak ada lagi kecuali berdasar nafsu dan yang pasti berkiblat ke barat.

Bisa jadi kita mungkin tidak heran dengan alur cerita film itu (sebab itu kehidupan kita, dunia pesantren), tapi bagi masyarakat kita? Pasti ada perubahan persepsi akan poligami, dan sebagainya. Belum lagi dialog film ini (yang untuk pertama kali dalam jenisnya) menggunakan bahasa arab (dialek mesir), di saat bangsa kita mulai jauh dari bahasa dunia islam ini. Juga setidaknya kita sendiri tahu, kayak apa sih bahasa arab percakapan itu (sekedar tahu, penduduk indonesia 212 juta, yang jadi santri tidak sampai 10 juta, itupun yang dari 10 juta tidak semua bisa bahasa arab)

Saya jadi teringat dengan Guru besar tercinta (Abuya Sayyid Muhammad), beliau biasa mengajak kita murid-muridnya nonton film bareng setiap hari kamis dan jumat, beliau almarhum sendiri melihat langsung dengan kita, melihat musalsal (sinetron), beliaupun tak jarang memberi komentar akan film itu. Kita diputarkan film-film bermutu, di samping sebagai hiburan namun kita juga di tuntut untuk mengambil pelajaran dari film yang diputar itu. Jujur (ini hasil dari tarbiyah beliau) 2 sinetron yang sempat saya tonton bersama beliau (Azzier Salim dan Robi’ Qurtubah) ternyata memberikan kita pembelajaran politik yang sangat berharga yang sampai saat ini kita (yang masih tersisa dari murid beliau) ternyata sedang melakoninya. Bisa jadi mungkin kita tak tahu apa yang harus kita lakukan menghadapi kenyataan kehidupan yang sedang saya hadapi bersama teman-teman di Mekkah saat ini (yang tidak bisa saya ceritakan pada antum semua) umpama tidak melihat film-film itu.

Dan film, memiliki ta’attsur Nafsiy (dampak psikologis) tersendiri, hal inilah yang dibaca dengan baik oleh Beliau, sehingga kita di ajak nonton, bareng lagi. Jadi antum jangan heran kok tiba-tiba setelah AAC booming, tiba-tiba di sana sini banyak yang berbusana seperti Aisha (bercadar) lebih heboh lagi kalau para istri meniru Aisha, suami mana yang gak sueneng gitu, hehehe… di Amrik sendiri, masyarakatnya lebih percaya film daripada omongan presidennya.

Jadi, di samping kita melihat film/sinetron sebagai komoditi hiburan, pelepas lelah, kita juga harus bisa mengambil pelajaran dari film-film itu, khudz maa shofa wa da’ maa kadar, ambil yang jernih dan tinggalkan yang keruh, di samping agar kita tidak membuang waktu dengan melihat film-film itu. Tiru sifat-sifat yang protagonis dan tinggalkan sifat-sifat yang antagonis.

Setidaknya, sarana dan prasarana belajar kehidupan itu banyak sekali, tinggal kita, bisa tidak memanfaatkannya? Sebab semua apa yang terjadi di hadapan kita, sekecil apapun, adalah pelajaran tersendiri terhadap arti hidup, agar kita mampu merasakan bahwa kita adalah BENAR-BENAR MANUSIA.

Wallahu A’lam (*)

Mekkah Al-Mukarromah

15 Rabea al-thani 1429 H

Sambil diiringi soundtrack

“Ayat-ayat cinta”-nya Mbak Rossa