Archive for the ‘Cerpen’ Category

h1

Sebuah Penantian

June 16, 2009

By: Lul’s

“Seandainya boleh, ingin rasanya ku tawarkan cintaku kepada lelaki soleh yang bikin tenang, damai di hatiku. Layaknya Khadijah yang menawarkan cintanya kepada lelaki pilihan kekasih Allah yang berakhlaq mulia. Namun aku malu, aku bukanlah Khadijah sosok wanita perfect, cantik, kaya, dan memiliki pondasi agama yang kuat sehingga pantas baginya mendapat lelaki yang menjadi idamanya, pembimbing untuk urusan dunia dan akhirat”.

Matanya berkaca-kaca, ia terhanyut dalam lamunannya, penantianya mengharap sang pembimbing untuk urusan dunia dan akhirat belum juga kunjung datang. Kepribadianya yang tertutup tidak mudah bercerita kapada orang lain membuatnya semakin tertekan, hanya diarylah teman sejatinya. Namun dari sekian banyak curahan hatinya kepada diary, ia tidak pernah mendapat feed back, tidak pernah ada solusi yang muncul dari diary itu. Begitulah pribadi yang introfet, tidak mudah membuka diri dengan orang lain.

Sempat terlintas dalam benaknya, akankah seperti Rabiah aladawiyah? Yang mengagungkan cintanya hanya kepada Robbnya. Ataukah seperti Ji’ranah? Si wanita dungu yang kerjanya memintal benang kemudian setelah jadi dirusaknya kembali.Terus menerus ia lakukan itu, memintal kemudian dirusak. Sikap dungunya itu akibat keputusasaanya menanti seorang pembimbing yang tak kunjung datang. Naudzubillah, ia tidak mau berbuat dungu seperti ji’ranah.

Ia teringat peristiwa beberapa tahun silam ketika usianya baru beranjak 23 tahun, ketika itu ia lagi semangat-semangatnya dalam menuntut ilmu  melanjutkan jenjang pendidikanya. Namun dengan berat hati ia harus mewurungkan niatnya  untuk itu. Ibunya telah memilihkan calon pendamping untuknya, padahal ia belum tahu sama sekali sosok lelaki itu. Ibunya hanya cerita kalau ia punya pilihan untuknya, dan ibunya akan lebih senang jika lelaki itu bisa menjadi anaknya dengan jalan menikah dengan putrinya itu.

“Nduk, dia itu sarjana” ucap emaknya

“emak akan seneng jika kamu mau dengannya, usiamu kan sudah cukup untuk menikah, lihat teman-temanmu sudah pada gendong anak”.

Ia hanya terdiam, lidahnya kelu untuk mengucapkan tidak pada ibunya. Memang manusia zaman sekarang suka melihat gelar sebagai pertimbangan. Yang terlintas dalam benaknya saat itu adalah apakah aku bisa mencintainya?.

“Kalau memang dengan ini bisa membuat emak senang, aku akan mencoba, mudah-mudahan perasaan itu bisa tumbuh setelah menikah”

“apakah keputusan emak ini tidak tergesa-gesa, Apakah orang tua itu resah jika mempunyai anak perempuan yang belum menikah? “  berbagai unek-unek  terlintas dalam benaknya. Akhirnya ia memutuskan untuk menuruti keinginan ibunya. Ia hanya berpikir dengan patuh terhadap orang tua mudah-mudahan ini menjadi jalan surga baginya.

Hari itu ibunya sibuk mempersiapkan jamuan untuk menyambut tamu dari pihak lelaki, acara lamaran akan dilangsungkan sore nanti ba’da dzuhur. Namun sampai hari itu ia masih berfikir,” apakah benar ini pilihanku? inikah finalku?”. Rupanya keraguan masih juga terlintas di benaknya.

Ruang tamu telah ditata untuk menyambut rombongan tamu dari pihak keluarga lelaki.  permadani berwarna merah dengan corak bunga-bunga telah siap disana. Beberapa hidangan dan buah-buahan pun telah ditata dengan apiknya. Ya, acaranya dibikin lesehan sehingga suasananya bisa lebih nyantai.

Rombongan tamu dari keluarga Purnomo telah tiba dengan beberapa bawaan  seperti kue-kue dan parsel khas lamaran. Salah satunya ada kue gemblong yang terbuat dari beras ketan ditumbuk dengan halus, itu sebagai simbol agar rekat hubungan kekeluargaan yang akan dijalin nanti. Tamu-tamu telah padat memenuhi ruangan itu. Sambutan dari pihak laki-laki dan sekelumit basa-basi telah disampaikan kepada pihak perempuan. Inti dari pertemuan itu adalah bahwa Purnomo bermaksud meminang Zainab sebagai calon istrinya.

Selesai sudah acara itu, tahap pra nikah, saling mengunjungi keluarga satu sama lain. Sejak acara itu Purnomo sering berkunjung ke rumah Zaenab.

Mereka bilang pinangan adalah hubungan setengah halal, padahal itu belum. Purnomo terkadang mangajaknya keluar sekedar jalan-jalan. Sekali, dua kali. Ia berontak dihatinya, ia merasa tidak nyaman jika lama-lama seperti itu. Entah apa yang menjadi pertimbangan lagi sehingga mereka menunda-nunda ke jenjang pernikahan.

Sebulan, dua bulan hingga setahun masih juga belum ada kepastian kapan ikatan yang sah itu akan dilaksanakan. Sampai-sampai Purnomo melanjutkan pendidikanya ke janjang yang lebih tinggi, melanjutkan studinya mengambil program Magister. Lambat laun komunikasi antara mereka mulai renggang. Mereka enjoy dengan kegiatanya masing-masing. Dibalik keraguan Zainab semenjak awal perkenalanya ternyata inilah yang ia dapat, tanpa adanya kejelasan akan seperti apa jluntrunganya?.

Inikah akibat dari pertunangan yang ditunda-tunda sehingga Allah tidak meridoinya?. Ia hanya murung jika mengingat hal itu. Keduanya telah memutuskan untuk tidak melanjutkan hubunganya itu. Namun ia tidak ingin terpuruk dalam kesedihan. Dibacanya buku-buku penyemangat agar ia tidak lagi menengok ke belakang yang akan mengingatkanya pada hal-hal yang membuatnya murung.

“Mengurung diri dalam kamar yang sunyai bersama kekosongan yang membahayakan adalah cara yang ampuh untuk bunuh diri. Kamar anda bukanlah alam semesta. Dan anda bukan manusia satu-satunya di alam ini. Karena itu mengapa anda harus menyerahkan diri kepada pembisik-pembisik kesusahan dan kesedihan?. Tidakah anda sebaiknya menyatukan pandangan, pendengaran dan hati untuk menyeru kepada diri anda sendiri. (Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringsan atau pun berat, At-taubah: 41)”. Dikutip dari “La Tahzan karya Aidh Alqarny”

Ia berusaha menyibukan diri untuk menghibur hatinya. Ia mengisi hari-harinya bersama anak-anak didiknya di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di derah Kecamatan Jajarsari. Baginya anak-anak didiknya adalah pelipur lara, sikapnya yang lucu-lucu  membuatnya bisa tersenyum dan belajar bersabar dalam menghadapi tingkah mereka yang terkadang nyebelin.

Usianya kini hampir 30 tahun, namun sang pembimbing yang diharapkan belum juga ada. Ia tak tahu lagi harus menjawab apa jika ibunya menanyakan hal itu. Sampai saat ini ia belum menemukan lelaki yang cocok. Dibilang trauma karena kejadian yang lalu, tidak juga, because however life must go on. Jawaban yang tepat adalah karena Allah belum mempertemukanya, ia hanya bisa  bertawakal kepada-Nya.

Suatu hari ada acara akhir sanah di PAUD tempatnya mengajar. Acara itu sebagai ajang kreasi anak-anak di panggung dari pementasan hafalan juz amma sampai pembacaan bait-bait puisi untuk melatih mental anak-anak.  Dihadiri oleh wali murid serta beberapa tamu undangan. Dipenghujung acara diisi oleh seorang ustadz muda ketua yayasan PAUD tersebut, ditaksir usianya tidak jauh darinya mungkin selisih dua atau tiga tahun diatasnya. Bahasanya santun dalam menyampaikan ceramah, joke-jokenya juga tidak nyleneh, wajahnya tenang dan ramah. Fauzi namanya.

Rupanya Zaenab Simpati padanya. Dalam acara itu sang ketua yayasan memberikan bingkisan khusus bagi pengajar. Karena pengajarnay wanita, dikasinyalah buku yang berjudul “Wanita yang paling berbahagia di dunia”, ia senang menerima hadiah itu. Dibacanya buku itu hingga rampung, ia ibaratkan yang berbicara dalam buku itu adalah akh Fauzi. Ia sempat kepikiran, “sudahkah akh Fauzi mempunyai calon pendamping? Seandainya bisa, ingin rasanya kutawarkan cintaku padanya”.

Lagi-lagi keraguanya datang, ia tidak mau kejadian yang lalu terulang, ia ingin mengutarakan isi hatinya kepada seseorang yang dapat dipercaya tapi siapa?. Inilah kekurangannya, ia telan semua masalahnya sendiri.

Cukup lama ia tidak menunjungi sahabat sejatinya, diary.

“Dear, diary,

you are my best friend. Ku tahu kamu tak kan mengeluh atas keluhan-keluhanku. hari ini aku mengadu lagi padamu. Aku mengagumi ciptaan-Mu ya robb, bahasanya santun, wajahnya tenang, rasanya damai hatiku jika mengingatnya. Ups diary, aku tidak mau ngelantur”.

Ditutupnya sahabat sejatinya itu, ia tengok jarum jam telah menunjukan pukul 3 Am, ia beranjak dari tempat tidurnya mengambil air wudu. Ya waktu yang tepat untuk mengadu kepada Robbnya, dalam sujud panjangnya ia memohon kepada Allah mengharap seorang pembimbing untuk urusan dunia dan akhirat yang soleh.